liBi Jakarta – Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Senin pagi, bergerak melemah sebesar 60 poin menjadi Rp13.890 dibandingkan posisi sebelumnya di posisi Rp13.830 per dolar AS.
“Dolar AS menguat di awal tahun 2016, sentimen perbedaan kebijakan moneter antara bank sentral AS (The Fed) dan bank sentral eropa (ECB) serta bank sentral Jepang (BOJ) masih menjadi sentimen negatif bagi mata uang negara-negara berkembang,” kata Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta, Senin (4/1/2016).
Ia mengatakan bahwa di saat bank sentral AS masih berencana untuk menaikan suku bunga acuannya di tahun 2016 ini, ECB dan BOJ kemungkinan akan kembali memperlonggar kebijakan moneternya.
Di sisi lain, lanjut dia, pesimisnya data manufaktur Tiongkok menambah sentimen negatif bagi pasar uang di akwasan Asia, termasuk rupiah.
Pada akhir pekan lalu, pemerintah Tiongkok merilis data indeks pembelian manajer (PMI) sektor manufaktur bulan Desember 2016 yang berada di level 49.7, lebih rendah dari estimasi untuk level 49.9.
Di sisi lain, lanjut dia, konfliks di Timur Tengah yang masih terjadi juga memicu pelaku pasar untuk melakukan aksi beli terhadap aset mata uang yang masuk dalam kategori “safe haven”, yakni dolar AS.
Kepala Riset NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada menambahkan bahwa kenyataan yang harus diterima oleh investor di pasar uang domestik yakni potensi laju penguatan rupiah di awal tahun 2016 ini terganjal, menyusul harga sejumlah komoditas yang masih dalam tren pelemahan.
“Namun, kami berharap pelemahan rupiah cenderung terbatas terhadap dolar AS, harapan perekonomian domestik pada 2016 ini dapat menjadi momentum pembalikan arah bagi rupiah untk kembali bergerak menguat,” katanya. (ant/lb)