IPI Anggap Sampah Kemasan Multilayer Rendah, Sebabkan Industri Urung Daur Ulang

Lintas Bisnis.com Jakarta – Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Pris Polly Lengkong, menyampaikan, tidak berharganya sachet dimata pemulung mengingat belum ada pihak yang berniat mendirikan pabrik atau industri daur ulang untuk sampah sachet atau kemasan multilayer.

Salah satu yang menyebabkan sampah sachet atau plastik multilayer menjadi masalah adalah nilai ekonomisnya yang sangat rendah. Akibatnya, pemulung cenderung mengabaikan sampah jenis ini dan hanya memungut plastik jenis PET karena dapat dijual kembali dengan harga tinggi untuk industri daur ulang.

Oleh karena itu, menurut Pris Polly, tidak berlebihan apabila kritik terhadap kebijakan-kebijakan mengenai pelarangan plastik ini dilayangkan, mengingat masih banyak persoalan-persoalan yang tidak terlihat, namun menyumbang masalah apabila tetap dibiarkan. Plastik multilayer ini contohnya, IPI memprediksi, sampah plastik jenis sachet akan menumpuk pada 2027 jika tak segera diatasi.

“Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap persoalan plastik baru sebatas pelarangan penggunaan kantong kresek ataupun kampanye atau himbauan membawa tumbler. Langkah-langkah strategis yang meliputi teknologi dan inovasi belum terlihat, terutama upaya mendaur ulang sampah kemasan sachet,” ujar Pris Polly di Jakarta, Rabu (4/3/2020).

Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila kritik terhadap kebijakan-kebijakan mengenai pelarangan plastik ini dilayangkan, mengingat masih banyak persoalan-persoalan yang tidak terlihat, namun menyumbang masalah apabila tetap dibiarkan. Plastik multilayer ini contohnya, IPI memprediksi, sampah plastik jenis sachet akan menumpuk pada 2027 jika tak segera diatasi.

Pengamat persampahan Sri Bebassari mengatakan, bahwa produsen memiliki tanggung jawab terhadap pengelolaan sampah sachet yang mereka hasilkan. “Kita seharusnya mengacu pada Pasal 15 Undang-Undang nomor 18 tentang Pengelolaan Sampah. Disitu disebutkan bahwa produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan dari produk yang mereka buat,” kata Sri.

Selain itu, hal ini juga seharusnya menjadi perhatian Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam memberi ijin produksi. “Seharusnya, pada saat produsen meminta ijin produksi, Kemenperin harus lebih dulu meminta semacam proposal dari industri tentang rencana atau strategi setelah barang mereka dikonsumsi. Strategi ini harus bisa menjawab solusi dari persoalan potensi sampah yang akan dihasilkan produknya. Jika produsen tidak punya strategi, maka Kemenperin seharusnya tidak memberikan ijin produksi kepada mereka,” tegas Sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Sri menegaskan, Kemenperin harus menjadi garda paling depan dalam meminimalisir potensi sampah dari kemasan sachet. “Jadi seharusnya Kemenperin sejak awal menjaga betul tentang tanggung jawab produsen ini. Supaya mereka itu tidak cuma asal jualan tetapi pikirkan juga dong apa yang harus dilakukan dengan kemasan plastik yang mereka produksi,” ujarnya.

Berdasarkan laporan terbaru Greenpeace berjudul “Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution “Solutions””, sebanyak 855 miliar sachet terjual di pasar global pada tahun ini, dengan Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50%. Diprediksi jumlah kemasan sachet yang terjual akan mencapai 1,3 triliun pada tahun 2027.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *